![]() |
SEMINAR: Kolaborasi lintas sektor cari solusi dari kegagalan implementasi restorasi mangrove Indonesia- Foto Dok YPUI |
GOKALTIM.COM, SAMARINDA - Upaya restorasi mangrove yang telah menelan dana besar di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia, seringkali tidak membuahkan hasil yang diharapkan.
Alih-alih tumbuh subur, tingkat kelangsungan hidup bibit mangrove yang ditanam justru sangat rendah, bahkan di beberapa lokasi mencapai nol persen.
Fakta miris ini mengemuka dalam Seminar Nasional bertajuk "Mengapa Berhasil, Mengapa Gagal: Pembelajaran Restorasi Mangrove dari berbagai tingkatan" yang digelar di Hotel Mercure, Samarinda, pada Rabu, 15 Oktober 2025.
Reonaldus, Direktur Yayasan Planet Urgensi Indonesia (YPUI), selaku penyelenggara acara, menegaskan bahwa kegagalan restorasi mangrove adalah masalah serius yang tidak bisa diabaikan. Menurutnya, banyak program restorasi dijalankan tanpa perencanaan yang matang dan berbasis ilmu pengetahuan.
"Permintaan untuk restorasi skala besar memang meningkat, tetapi di lapangan kita melihat cerita yang berbeda. Laporan menunjukkan tingkat keberhasilan di Filipina kurang dari 20 persen, bahkan di Sri Lanka ada 9 hingga 23 lokasi penanaman yang tingkat pertumbuhannya nol persen," ujar Reonaldus di sela-sela acara.
Kondisi serupa, lanjutnya, juga terjadi di Indonesia. Program restorasi pasca-tsunami Aceh 2004 menunjukkan tingkat keberhasilan yang rendah. Di Kalimantan Timur sendiri, pengalaman YPUI menunjukkan hasil yang beragam.
Ada lokasi dengan tingkat pertumbuhan di atas 60 persen, namun tidak sedikit yang hanya 10-30 persen, bahkan ada yang gagal total meskipun sudah ditanami ulang.
Menurut Reonaldus, berdasarkan analisis dan pengalaman di lapangan, setidaknya ada tiga faktor utama yang menjadi biang keladi kegagalan restorasi mangrove.
Pertama, adanya hambatan sosial, politik, dan tata kelola.
"Program seringkali berbasis insentif dengan target penanaman yang masif dalam waktu singkat. Akibatnya, perencanaan berbasis sains terabaikan," jelasnya.
Kedua, hambatan biofisik. Banyak penanaman dilakukan di lokasi yang secara ekologis tidak sesuai. Pemilihan jenis bibit yang kurang tepat dengan karakter lahan serta kecenderungan penanaman monokultur juga menjadi penyebabnya.
Ketiga, hambatan komunikasi. "Publikasi ilmiah tentang restorasi sulit diakses oleh pelaksana di tingkat tapak, dan sesi berbagi pembelajaran antar program sangat minim," tambah Reonaldus. Degradasi mangrove itu sendiri mayoritas disebabkan oleh alih fungsi lahan menjadi tambak dan pengembangan pesisir.
Seminar yang diinisiasi oleh YPUI dan Mangrove Action Project (MAP) ini bertujuan untuk menjadi platform berbagi pengetahuan dan pengalaman praktis. Dengan menghadirkan para pihak dari tingkat tapak hingga global, diharapkan para pelaksana program dapat meminimalisir kegagalan di masa depan.
"Tujuannya jelas, kita ingin semua pihak memahami konsep restorasi yang benar, belajar dari praktik yang berhasil dan gagal, serta memahami peran krusial masyarakat dalam setiap kegiatan penanaman," kata Reonaldus.
Acara yang dibuka oleh Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Kaltim, Ir. H. Joko Istanto, S.P., M.Si., ini dihadiri oleh berbagai pemangku kepentingan, mulai dari instansi pemerintah pusat dan daerah, akademisi dari Universitas Mulawarman, hingga lembaga swadaya masyarakat seperti Yayasan Mangrove Lestari (YML) dan Pokja Pesisir Balikpapan.
Reonaldus berharap, seminar ini dapat mengubah paradigma dalam pelaksanaan restorasi mangrove ke depan. "Sudah saatnya kita berhenti mengulangi kesalahan yang sama. Kunci keberhasilan restorasi adalah kemauan untuk belajar dari kegagalan," tutupnya. (AGS/AR)